Rabu, 06 Juli 2011

CATATAN KECIL TENGAH MALAM

Menghisap kejenuhan, merasa dikhianati, hanya berpijak secuil kepercayaan.
Angan pupus sudah, karena kekecewaan pada kebohongan.
Lusuh dan lemah wajah ini, sama seperti tampilan relung yang merindu senyum bijaksana.
Setahun yang lalu, ungkapan kemunafikan terjadi.
Ini masih terngiang.
Berusaha memaafkan, namun hanya berpegang keadaan pun belum sepenuhnya kusanggup.
Kupikir dulu adalah kasih sayang nyata.
Kupikir dulu adalah kepedulian hati.
Kupikir dulu adalah nyali untuk satu makna.
Apa sejatinya telah lupa akan tekad murninya?
Yang semestinya menemani telah beralih.
Yang semestinya menyayangi telah berlalu
Sekarang hanya rasa terluka tertinggal.
Hanya kenangan visi semu, mimpi kosong, tak pernah nyata.
Selamat tinggal…..

[fauka]

REAL

You had a vision and you stick it on
You used your passion and you lose control
It might kill your sense
Or now you dare to change rudely
You’re drowned into your dreams
Changed my life, changed my self
But it would hurt me to be somebody else
It won’t be ever the same
You killed yourself
You killed myself
You lied to yourself
It was burning our same dreams
Cause I’m bleeding for you and used to be left
I see the truth when I’m on the darkest blue
I walk away and it’s over now
There’s always the way to prove
I can’t be something you force
But somehow you never see me
Finally I see I’m alive between lies and pretends
They just fucked-up my mind
I’m sick and I’m done
Now have to dream
No more sorrows, no more hurts
I wake up in the middle of night
Draw outworn pain on my shadow
I’m drowned into my sorrows
Leaving the last goodbye
To see I’m real when the next door is opened

[fauka]

Senin, 20 Desember 2010

DESEMBER YANG MEMBISU

Pepohonan menggetarkan daunnya
Menari tersenyum kepadaku
Dengan latar langit kelabu
Musim penghujan yang indah

Sinar-sinar kecil dan sunyi dalam kamarku
Menceramahiku dan menghakimiku
Pikiranku pun tersudut dalam kebisuan
Tak mampu ungkapkan sesak dalam otak

Aku berpijak pada nilai baru
Namun relungku masih membisu
Seperti hari-hariku yang kian tak berucap
Terdiam, tertegun, terisolir keharusan berkorban

Aku memang harus berpisah
Mereka yang pernah mencintaiku
Dengan ketulusan mereka yang kini kupertanyakan
Mereka yang membenciku
Dengan pikiran kotor mereka yang terus menguji ketegaranku
Mereka yang selalu menahanku
Dengan ambisi semu mereka yang mengunci perasaanku
Mereka yang membebaskanku
Dengan nilai cinta kasih dan pengertian

Selasa, 16 November 2010

NEVER STOP THE RAIN

I start to love everything
It just makes me feel comfort
Let my eyes see the light of you
Hope you can heal your pain
Wasting my time heartily
Just to know you’ll be alright
When you’re falling apart

I start to hate everything
It just makes me feel out of use
Let my heart touches the dark of you
Hope you never turn me down
Wasting my time tearfully
Just to know you’re pretending
That I’m good for you

Never stop the rain…
I’ll keep your voices as you have screamed
Never stop the rain…
Will you blame me as I have understood?
Never stop the rain…
I wonder if you can open your mind without a cynical

If the rain always makes me cry
I’ll never gonna stop it
Cause it will be the beautiful hurt I let it flow
And If you always think of me evily
I’ll never gonna stop you
Cause I realize I’m the forgotten one inside your heart

I’m getting tired of hate everything
But it just makes me feel nothing wrong
I’m getting tired of love everything
And it just makes me blame my life
One day if you live without a hate anymore
Just remember I always try to see you through perfectly


[fauka]

Selasa, 13 Januari 2009

IDENTITAS PEREMPUAN YANG TENGGELAM DALAM PRINSIP BUDAYA PATRILINEAL

Tak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dengan kondisi jasmaniah yang berbeda. Namun, apakah kita sebagai manusia lantas berasumsi bahwa perbedaan kondisi jasmani tersebut turut menguatkan persepsi untuk memilah-milah laki-laki dan perempuan dalam ruang gerak sosial dan kultural? Bertahun-tahun konsep gender diperdebatkan oleh dunia, dan bertahun-tahun pula gerakan feminisme disuarakan. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah rumit sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Akan tetapi yang akhirnya menjadi persoalan adalah ketika ternyata perbedaan gender itu melahirkan diskriminasi terhadap salah satu kaum, yaitu kaum perempuan.

Banyak pandangan masa lampau yang mensub-ordinasikan perempuan dalam kehidupan. Bahkan seorang filsuf pandai seperti Aristoteles pun menjabarkan pandangannya tentang perempuan dalam pengertian yang tidak begitu menggembirakan.”Kaum wanita itu tidak sempurna dalam beberapa hal, dan seorang wanita adalah ibarat pria yang belum lengkap.” (dikutip dari Dunia Sophie, Jostein Gaarder; 2004). Dia percaya bahwa semua sifat anak manusia terkumpul lengkap dalam benih sang ayah, sementara perempuan adalah ladang, yang menerima dan menumbuhkan benih itu karena laki-laki yang menanam. Tentu saja mengejutkan sekaligus patut disayangkan bahwa laki-laki yang begitu cerdas dapat begitu keliru mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Bila melihat sejarah masa lampau di negeri ini pun, nasib kaum perempuan kurang mendapat kelayakan dalam semua aspek kehidupan. Diskriminasi masalah pendidikan yang mementingkan kaum laki-laki untuk mengenyam pendidikan, sampai pada tindakan pelecehan para penjajah yang menjadikan perempuan Indonesia dahulu menjadi budak bangsa Barat. Semua gambaran tadi menunjukkan bahwa ketidakadilan gender itu sudah terjadi sekian lamanya dan perjuangan itu tidak boleh berakhir pada detik kehidupan saat ini.

Dalam kehidupan kolektif, manusia tumbuh atau hidup diresapi nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga berakar dalam alam jiwa mereka. Cara berbagai kebudayaan di dunia dalam mengkonsepsikan sesuatu misalnya pemahaman gender pun berbeda-beda. Apalagi dalam masyarakat yang menganut prinsip budaya patrilinieal, ketidakadilan gender akan terasa kental terlihat dalam pola kehidupan prinsip tersebut. Menurut antropolog Koentjaraningrat, sistem patrilineal merupakan prinsip yang menghitung hubungan keturunan melalui garis kerabat sang bapak (pria) saja. Masyarakat yang menganut prinsip ini tentunya akan cenderung mempersempit ruang gerak perempuan dan akan merugikan kaum perempuan karena dapat mematikan identitas kaum perempuan secara perlahan-lahan dalam konteks kultural maupun kemasyarakatan.

Bagi prinsip patrilineal, kaum laki-laki merupakan sebagai kaum pemimpin / kepala keluarga karena laki-laki dianggap yang memberi keturunan kepada keluarganya, dan memiliki ketegasan, serta kekuasaan atas segala keputusan mutlak ada di tangan laki-laki. Perempuan adalah pengikut atau pendamping laki-laki / suami dan sepatutnya patuh terhadap baik buruk keputusan suami ketika hidup berumah-tangga nanti. Pemahaman seperti ini telah dikonstruksi oleh keluarga patrilineal secara turun-temurun setiap generasinya terdoktrin untuk menganut pemahaman gender yang sebenarnya keliru. Maka ketika bergerak dalam organisasi sosial yang lebih luas lagi dari keluarga, yaitu tatanan masyarakat, keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan organisasi maupun birokrasi dirasa masih kurang. Hal ini akibat suntikan-suntikan budaya patrilineal dari keluarga yang mengasumsikan bahwa laki-laki adalah pantas menjadi pemimpin sehingga perempuan kurang memiliki idealisme untuk memimpin masyarakat.

Dalam kehidupan keluarga, laki-laki sebagai suami cenderung memiliki wewenang yang kadang disalahartikan guna kepentingan mengeksploitasi perempuan (istri) dan anggota keluarga perempuan lainnya. Sebagai contoh, maraknya perkosaan yang dilakukan ayah kandung terhadap anaknya. Banyak diantara pelaku yang mengklaim bahwa tindakan yang tidak berperikemanusiaan itu dilakukan semata-mata karena istri tidak memiliki waktu terhadap suami. Memang memprihatinkan melihat realita perkosaan dalam perkawinan, apalagi yang disertai tidakan fisik dan pemukulan. Perkosaan dalam perkawinan seringkali tidak terekspos disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya faktor seperti ketakutan, rasa malu, keterpaksaan secara ekonomi, sosial, maupun kultural dan tidak ada pilihan lain.

Peristiwa semacam ini tampaknya belum cukup menggugah perenungan masyarakat dalam menyuarakan keadilan gender. Saat ini masyarakat terbuai menyaksikan tenggelamnya identitas perempuan akibat kultur yang terbentuk sejak kecil. Ironisnya, kaum perempuan sendiri kurang responsif terhadap perubahan dan masih menjunjung nilai-nilai konservatif dalam menapaki kehidupan. Suatu contoh kecil lagi dalam hidup bermasyarakat adalah bagaimana masyarakat memanggil nama para istri dengan memasukkan unsur nama suaminya (misal: istri Pak Ali bernama ”Santi”, namun masyarakat sekitar kerap memanggilnya dengan nama ”Bu Ali” bukan ”Bu Santi”). Contoh kecil ini menggambarkan bentuk pembunuhan identitas perempuan yang tanpa kita sadari telah lama mengakar dalam kebudayaan yaang kita anut. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat masih memegang makna perempuan sebagai istri mempunyai kedudukan di bawah suami (sebatas pengikut suami) dan perempuan dianggap tidak bisa berdiri sendiri tanpa keberadaan dan campur tangan suami.

Untuk memberikan kesadaran terhadap bias gender dalam konteks budaya patrilineal, akan membutuhkan kerja keras yang amat panjang prosesnya. Sulit untuk mengubah suatu unsur tertentu dalam konteks yang telah diyakini masyarakat sebagai pedoman yang mengatur arah kehidupannya. Karena bagi mereka, kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengatur bagaimana seharusnya mereka bertindak, berlaku, dan menentukan sikapnya di dalam pergaulan hidup. Bagi setiap orang, bagaimanapun hidupnya, ia akan selalu merepresentasikan budaya tersebut menjadi kebiasaan (custom) khusus bagi dirinya. Menurut Ferdinand Tonnies (Soekanto, 2005), kebiasaan tersebut memiliki 3 arti sebagai berikut:

  1. Dalam arti menunjuk pada suatu kenyataan yang bersifat objektif. Artinya, adalah bahwa seseorang biasa melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dalam tata cara hidupnya. Menyangkut bahasannya dengan masalah gender bahwa pribadi seseorang dalam melakukan kebiasaannya sesuai dengan peran gender yang ditanamkan oleh orang tuanya sejak dini. Prinsip patrilineal akan menanamkan sebuah pembiasaan bahwa laki-laki harus bisa memimpin dan lebih kuat daripada perempuan.

  2. Dalam arti bahwa kebiasaan tersebut dijadikan kaidah sesorang, norma mana diciptakannya untuk dirinya sendiri. Peran gender yang ditanamkan keluarga akan menyebabkan pribadi yang bersangkutan menjadikan peran gender itu sebagai kaidah yang berlaku bagi keberlangsungan hidupnya sendiri. Peran gender dalam prinsip patrilineal yang mengarah kepada ketidakadilan gender otomatis akan terus berkembang karena dijadikan kaidah oleh masyarakat yang terlahir dalam struktur tersebut.

  3. Sebagai perwujudan kemauan atau keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu. Kebiasaan itu mendorong individu untuk melakukan kemauan yang diidamkannya. Artinya, peran gender yang bias akan terwujud di dalam kehidupan masyarakat karena merupakan dorongan manusia yang terlahir akibat pendidikan yang didapat secara turun-temurun dari prinsip patrilineal.

Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak dan bertahap. Kita wajib memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan. Ketika kita terlahir dan dibesarkan dalam prinsip patrilineal, diperlukan suatu modal keberanian dan pemikiran modern untuk mengubah pandangan kultur yang konservatif tanpa meninggalkan unsur warisan kultur yang sakral. Memberikan pendidikan yang baik dalam penanaman konsep gender yang adil perlu dilakukan untuk mengubah stigma generasi muda yang terlanjur terlatih dengan pemahaman gender masa lampau yang cenderung diskriminan terhadap kaum perempuan. Melahirkan kembali identitas perempuan terutama dalam lingkup patrilineal membutuhkan peran aktif dari kaum perempuan sendiri, terutama dalam organisasi kemasyarakatan.

Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan seksual dan berbagai bentuk stereotipe terhadap perempuan yang terkekang lingkungan patrilineal, suatu aksi jangka pendek perlu dilakukan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan agar tindakan tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan berarti mengajarkan bahkan mendorong pelaku untuk tetap melangsungkannya. Dan hendaknya kita berpikir seribu kali untuk memberikan dongeng-dongeng dan cerita rakyat yang mengarah kepada bias gender kepada anak-anak kita nanti. Bukan berarti kita membunuh mati warisan nenek moyang, namun perlu diadakan suatu pembenahan, memilih-milih kembali pelajaran yang bermanfaat bagi generasi mendatang agar mereka tumbuh menjadi individu yang menghargai persamaan hak dan sadar akan arti penting kesetaraan gender.